Bugis MRT Station, 2023
Singapura bukan negara yang cocok untuk jaket kulit dan celana jeans, tapi siapa peduli? Febry pernah menggunakan sweater dibalut dengan jaket denim saat Jakarta lagi panas-panasnya.
Dia pikir, setidaknya Melvin bisa lihat Febry yang berusaha untuk tampil decent pada kencan pertama mereka. Sayangnya, saat mata berhasil menilik lelaki berambut jatuh dengan celana pendek, senyum Febry berubah kecut.
“Hi,” sapa Febry. “Melvin?”
Yang dipanggil menoleh, wajahnya langsung berseri, senyumnya merekah lebar. “Hai! Yes, Melvin.”
“Maaf, ya, aku kurang dress up. Aku panik karena bangun kesiangan, jadinya cuman pake baju seadanya karena takut telat.”
Febry menggeleng. “Gapapa.” Setidaknya dia meminta maaf dan punya alasan jelas.
“Okay.” Melvin menghela napas. “So, where wanna go?” tanyanya dengan nada yang dibuat sok mengikuti aksen Singlish.
Yang sebelumnya sedikit kesal, Febry jadi tertawa karena Melvin gagal memberi impresi warga lokal. “Udah, pake bahasa Inggris kamu di Indo aja. Singlish kamu jelek.”
“Damn, I knew that was gonna be bad. Aku cuman tau cibai sama mak kau hijau.” Melvin menggaruk tengkuk lehernya. Pipinya tiba-tiba panas melihat Febry tersenyum manis.
“Mak kau hijau udah beda negara tau.”
“Really, meh?” Lagi, Melvin masih berusaha mengikuti aksen lokal — meski tahu akan kembali ditertawakan Febry.
“Shhh.” Febry meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. “Nanti bukan aku doang yang ketawa, satu Singapura ikutan ketawa juga.”
Melvin terkekeh. Kemudian menggandeng tangan Febry dan membawanya jalan entah kemana. Febry, yang merasa aneh dengan sentuhan tiba-tiba, langsung merinding sekujur tubuh. Dia menoleh, Melvin tidak terlihat terganggu sama sekali dengan jarak mereka yang terlalu dekat ini — bahkan lengannya saling bersentuhan macam jalan di samping kanan dan kiri mereka adalah cat basah.
“Aku beneran bingung mau kemana.” Melvin sudah berusaha mencari tempat-tempat yang cocok untuk sekadar berbincang, sudah bertanya pada temannya yang bekerja di sini juga. Namun, tidak ada yang cocok dengan preferensi ideal first date-nya. Rencanya cafe hopping keduanya juga harus dibatalkan karena Melvin sedang mengonsumsi obat untuk mengatasi insomnianya — dia dilarang makan dan/atau minum semua yang mengandung kafein.
Dia menghapus peluh keringatnya di kening. Namun, anehnya, matahari seterik ini masih kalah dengan sinar laki-laki di sampingnya. Sedari tadi keringatnya bercucuran bukan karena matahari, melainkan karena Febry yang berada terlalu dekat — badannya jadi panas sendiri. “Kamu aja, deh, yang tuntun jalannya. Aku anggap kamu warlok for today.”
“Welcome to my campus’ most hated spot.” Febry berkata sembari melipat kaki di atas tempat duduk yang terbuat dari batu.
Setelah mengantri hampir setengah jam di warung makanan lokal — kata Melvin dia rindu makan laksa singapura — dan berakhir bermandian keringat, akhirnya Febry bisa meneduhkan diri di bawah pohon yang sedikit membantunya menghindar dari terik matahari.
“Why?” tanya Melvin bingung karena ketika dia melihat sekelilingnya, ada banyak orang yang sedang berkumpul.
“Karena kalo menjelang sore pasti banyak nyamuk.”
“Oh, aku kira angker apa gimana.” Pun dia menyusul duduk di samping Febry. Melvin dapat lihat Febry yang masih kepanasan, merasa kasihan, dia berinisiatif untuk mengipaskan tangannya ke arah Febry. “Lepas aja jaketnya kalo kepanasan.”
“Ga, ah. Daleman aku sleeveless.”
“Kenapa emangnya kalo sleeveless?”
“Aku cuman gamau kena matahari aja, takut sun burn. Kulit aku sensitif soalnya.”
“I see.” Melvin mengangguk. “Emangnya kamu ga pake lotion atau apa gitu?”
“Pake, tapi karena dibawain sama temen aku dari Thailand dan udah mau abis, jadi aku pakenya irit-irit, deh.” Bibirnya cemberut dan Melvin gemas mampus, tangannya gatal ingin mencubit pipi Febry.
Mungkin kalau date seperti ini — berpanas-panasan di bawah matahari, jalan kaki sampai sekitar 5km, dan tidak ada hentinya berbicara meskipun tenggorokkannya sudah serat — Melvin lakukan dengan orang lain selain Febry, dia akan kesal seharian dan langsung memutus kontak.
Kencan kali ini terasa menyenangkan, mungkin, karena Febry punya senyum manis dan candaan yang terus mengalir. Topik bicaranya tidak melulu seputar hubungan, cinta, atau pun sakit hati.
Kalau Febry mau, Melvin akan dengan senang hati merencanakan kencan kedua.
“Merknya apa? Kalo aku terbang ke Thailand nanti aku bawain.”
Mata Febry membulat, mulutnya juga, tapi dia tutup dengan tangan. “You would?!”
“Anything for you.”
“That’s so nice, tapi aku lupa merknya. Nanti aku kirim di chat, ya?”
Melvin mengangguk menyetujui sembari membuka plastik makanannya karena perutnya sudah memberontak ingin diisi sarapan.
“Eh, by the way, aku punya temen kerja di sini. Dosen. Kamu jurusan apa, deh?”
“Hah? Dosen…? Temen kamu umur berapa emangnya?”
“31, I think?”
Febry yang sedang makan hampir tersedak. “31? Berarti kamu…?”
“Tebak coba.”
Febry meneliti wajah Melvin. Kalau diperhatikan, umurnya pasti masih sekitar 25–27 tahun dan semoga memang benar karena Febry tidak ingin berkencan dengan orang yang umurnya terpaut jauh darinya.
“Hmm, 27?”
Melvin menggeleng.
“What? 28?”
Melving menggeleng lagi. “Younger.”
“26?”
“Younger.”
“25…?”
“Correct.”
Febry menghela napas lega, Melvin mendengarnya lalu terkekeh. “Panik, ya? Pasti kamu kira aku udah tua.”
“Engga, sih. Keliatan, kok, kamu masih sekitar 25. Cuman iya, takut dikit kalo ternyata kamu lebih tua dari 27.”
“Sekarang aku yang tebak umur kamu, ya?”
Febry mengangguk. Jemari Melvin menyingkirkan helai rambut yang menghalangi pandangan Febry, lalu menilik wajahnya dalam-dalam.
“Kamu lucu, deh, Feb.”
Bukannya menjawab umur, Melvin justru tenggelam dalam pikirannya dan berakhir mengutarakan yang ingin dia sampaikan hanya dalam benaknya saja.
Melvin mengakui, Febry berbeda dari orang-orang yang pernah dia temui. Melvin memang bisa memanggil semua orang dengan sebutan cantik, tapi tidak dengan lucu — lucu as in imut dan lawak. Dan cantik.
“Ga cantik, nih?”
“Cantik juga, tapi kamu lucu. Lucu for both imut sama lawak.”
Pipi Febry merah, terlihat jelas di bawah sinar matahari dan yang jadi masalah adalah pipi Melvin yang tak kalah merah juga. Dia sendiri bingung kenapa memuji Febry terasa seperti mengungkapkan rahasianya tentang mengompol di karpet sekolah waktu kelas enam SD. Melvin malu seperti sedang disuruh buka baju di tempat umum. Semalu itu.
Sudah dari awal bertemu Febry di stasiun dia ingin menyampaikan hal tersebut, baru tiga jam kemudian terealisasikan.
“Jangan gitu… malu tau kalo kamu ngomongnya secara langsung gini.” Tak tahan dengan merah di pipi, Febry menutup wajah dengan tangannya yang lengket dengan kuah laksa.
“Waktu aku bilang di chat emangnya ga malu?”
“Yaaa, malu, tapi, kan, ga diliatin kamu.”
Melvin terkekeh sembari menarik tangan Febry agar dia bisa leluasa melihat wajah imutnya. Tangan Melvin yang biasanya mudah dipakai untuk melakukan physical touch dengan orang lain, kini ragu-ragu ketika ingin mengusap kepala Febry — walaupun akhirnya jadi juga. Dia juga mencubit pipi Febry dengan gemas.
Dan mungkin Febry sudah benar-benar jatuh di bawah sihir Melvin, sampai mendengar tawanya pun bisa buat kepalanya pening.
“Serius, deh. Kamu pasti begini ke semua orang, kan?” tanya Febry ketika dirinya kembali normal — masih ada sisa salah tingkah sedikit, tapi dia harus kembali normal sebelum Melvin menganggapnya aneh.
Untuk menjawab pertanyaan Febry, jawabannya tidak sama sekali. Melvin memang punya banyak daftar nama yang ingin dia kenal, tapi tidak dengan mencari tahu lebih dalam tentang orang-orang tersebut seperti apa yang dia rasakan pada Febry sekarang ini.
Dan Melvin tidak akan pernah menganggapnya aneh.
“Kamu maunya gimana?” tanya Melvin balik.
“H-hah?”
“Yaaa, kamu maunya aku gimana? Should I focus just on you? Atau ada jawaban lain?”
“Waduh.” Febry terkekeh canggung. “Too early to ask for something like that, ga, sih?”
Melvin menyuapkan makanannya, istirahat sejenak dari pembicaraan, lalu mengangkat kedua bahu. “Ya udah.”
“But I would love to have a second date with you, though.”
“Beneran mau atau biar aku bawain lotion dari Thailand, nih?”
Percakapan yang sempat terasa dingin langsung berubah hangat. Febry kembali tertawa, kini lebih tulus dari sebelumnya. “Beneran mau, kok! Aku suka ngobrol sama kamu.”
“Really, meh?”
“Yes. A hundred percent.”
Febry tersenyum lebar. Ternyata bukan hanya dia yang tertarik dengan kencan hari ini.
“Hmm, okay, balik ke topik. Pasti kamu 22 tahun dan jurusannya something to do with accounting.”
Mata Febry membulat dan hampir tersedak kalau dia tidak menahan batuknya tadi. “Kok… bisa bener semua?”
Sedikit pengakuan dosa: sebelum berangkat menemui Febry, Melvin sempat mencari nama Febry di LinkedIn dan profil kampus — untuk memastikan dia bukan seorang kriminal. Oke, mungkin memang bukan kriminal, tapi bisa disebut apa jika Febry sudah mencuri hatinya?