Ujung Jakarta

tempat bersandar
8 min readJul 9, 2022

--

CW // Kissing

Pengunjung kafe bertepuk tangan, memberi pujian pada dua adam yang sudah berhasil membangkitkan suasana muramnya malam.

Salah satunya Jungwon, yang terlanjur terburu api cemburu. Heeseung terus mencari perhatian Jay, membuatnya kesal setengah mati. Jungwon tahu Jay hanya bekerja. Dia juga tahu dia tidak punya hak untuk mengekang hidup Jay.

Jadi dibanding langsung menghampiri, Jungwon lebih memilih untuk tetap duduk di bangkunya. Memberi ruang pada Jay untuk menyelesaikan urusannya terlebih dahulu.

Namun, tak Jungwon sangka bahwa ternyata sebuah ciuman masuk dalam bagian urusan yang harus Jay selesaikan.

Di atas panggung Heeseung menarik tengkuk leher Jay, mengecupnya tepat di bibir. Tidak lama, tapi mampu mengundang sorak sorai dari orang-orang.

Jungwon panas hati. Dia langsung beranjak pergi meninggalkan hiruk-pikuk norak yang tidak pernah melihat orang berciuman.

Suara ramai mulai redam, diganti dengan suara bising kendaraan. Jungwon menyalakan rokoknya. Belum, dia belum ada niatan untuk mengurangi rokok. Ini hanya bualan yang dia sampaikan agar terus berbicara dengan Jay kala itu.

Jungwon duduk di atas motor Jay. Tak perlu mencari lama karena dia hapal plat kendaraanya. B 514 L. Dibaca sial.

Dia menunggu di sana. Rokoknya sudah habis 3. Namun, Jay tak kunjung datang juga. Kepalanya yang kosong tiba-tiba teringat percakapannya bersama Heeseung semalam dan dengan bajingannya otaknya kembali memutar adegan ciuman Heeseung dan Jay di panggung tadi.

Apa Jungwon cemburu? Sangat. Dirinya baru tahu bahwa dia mampu merasakan was-was dengan keberadaan seseorang, kini menyesal sudah membiarkan Heeseung dengan Jay terus berdekatan. Memang sangat labil, tapi mohon dimaklumi karena ini pertama kali Jungwon mencintai orang sedalam lautan.

“Won?” Merasa dipanggil, Jungwon langsung menoleh. Jay berdiri di belakangnya dengan celemek terpasang rapi.

Jay melihat ke bawah, sudah ada 3 batang rokok tak berbentuk berserakan di sekitar sepatu Jungwon dan dia sedang menghisap satu. Berarti ini yang ke empat?

“Mau aku anterin pulang dulu? Aku dikasih istirahat 30 menit.”

Jungwon menggeleng. Dia justru mematikan rokoknya, membuangnya sembarang arah ke aspal, dan langsung memeluk Jay. “Mau peluk aja.”

Jay membalas peluk Jungwon, mengelus pundaknya. “Maaf, ya, yang tadi. Aku udah marahin Heeseungnya.”

Lagi, Jungwon menggeleng. “Gak perlu minta maaf, bukan salah kamu. Aku juga gak berhak cemburu atau gimana, kan.”

“Boleh, cemburu aja.”

Jungwon terkekeh pelan. Sangat pelan karena suaranya teredam oleh kepala yang dia sembunyikan di pundak Jay.

Rasanya benar-benar nyaman ketika Jungwon berada di dekatnya. Senyaman itu sampai dia lupa bahwa mereka masih di tempat umum. Jungwon melepas peluknya lebih dulu, kemudian mendongak pada Jay yang sedikit lebih tinggi darinya. “Aku sepenuhnya paham kalo kamu, mungkin, butuh opsi lain selain aku. I won’t get mad.”

Jay menarik kepala Jungwon, membungkus kedua pipinya dengan tangan. “Kamu ngomong apa deh? Aku sama sekali ga butuh opsi lain. I have you and that’s enough.”

Bibir Jay menyapa kening Jungwon. Dia merapikan anak-anak rambut Jungwon yang menghalangi penglihatannya. “Kamu ngerokok banyak banget. Katanya mau dikurangin?”

Coping, Bro. Bakal susah meski dipaksa.”

Coping mechanism-nya ganti ke peluk aku aja. Lebih sehat dan wangi.”

“Kata siapa wangi? Kamu bau tau!”

“Bau apa?”

“Bau-baunya stress ngerjain tugas akhir.”

Jay terkekeh. Dia kembali mengecup kening Jungwon. Kini berkali-kali. Jay tak kunjung berhenti gemas dengan manusia ini. “Tapi serius, ganti ke peluk aku aja.”

“Gak mau, ah. Kalo rokok hilang, kan, bisa beli lagi. Lah, kalo kamu yang hilang? Aku cari di mana?”

Jungwon menatap Jay tepat di matanya. Meski gelap, Jay tetap menangkap keseriusan di sana.

Benar juga. Jay sewaktu-waktu bisa saja terbang ke Manchester, meninggalkan Jungwon dengan cara kopingnya yang bergantung pada Jay.

Alih-alih menjawab, Jay malah menutup pembicaraan dan lagi-lagi menghujani wajah Jungwon dengan ciuman. “Masuk, yuk? Selesai kerja, aku anterin kamu.”

“Di dalem ada Heeseung?”

“Kayaknya udah pulang. Kenapa?”

Jungwon menggeleng. Dia tidak ingin bertemu laki-laki itu sekarang atau setidaknya sampai kesalnya reda. “Yuk.”

“Mau makan nasi goreng gak? Aku laper banget.” Jungwon bersuara. Kini mereka sudah pulang menuju ke kos Jay — Jungwon yang meminta untuk menginap lagi — , dengan sengaja Jay pelankan motornya agar mereka bisa berlama-lama berpelukkan macam ini.

Jalanan sudah sepi, sedari tadi yang terdengar hanya suara gesekan ban motor Jay dan gema dari sudut lain. Jay dan Jungwon juga tidak memiliki topik untuk diangkat, mereka hanya menikmati semilir angin menerpa kulit mereka.

“Mana nasi goreng?”

“Itu, loh, di depan.”

Susah fokus, Jay menyipitkan matanya. Di sana ada gerobak tua dengan lampu kuning remang yang menyala. Dia berdeham. “Beneran nasi goreng ga, tuh? Kalo tiba-tiba abangnya ga napak gimana?”

Jungwon memutar matanya. Jay ini terlalu penakut untuk seseorang yang sudah lama tinggal sendirian. “Kamu tau ga, sih? Katanya setan bisa baca pikiran kamu, jadi kalo kamu takut, mereka pasti tau dan malah seneng. Nanti kamu justru diisengin.”

“Berarti setan tau, ya, aku suka sama kamu?”

“Aduh, diem lu. Gue laper.”

Jay terkekeh. Dia tahu dia penakut, tapi Jungwon selalu berusaha menangkis rasa takutnya dengan kalimat-kalimat yang kemungkinan besar hanya akan diceritakan oleh anak TK. Entah macam apa pergaulannya sewaktu kecil dulu, tapi rasanya dia punya segudang cerita.

“Jadi ke nasgornya ga, nih?”

“Jadi, kalo gak jadi lo yang gue makan.”

“Mauuu.”

“Ih, aku tabok, ya,” ucap Jungwon mengancam, matanya bulat. Dia turun lebih dulu dari motor, meninggalkan Jay yang susah parkir karena tanah liat yang ternyata basah. “Jaaay, kamu pedes?”

“Ga dulu. Aku takut sakit perut besok.”

“Dua-duanya gak pedes, ya, Pak. Kalo boleh, kerupuknya tolong lebihin juga. Makasih, Pak.”

Setelah Jungwon duduk, dia bisa merasakan hawa tak enak di sekitarnya. Di sampingnya ada 1 perempuan berambut panjang sedang makan lambat tanpa suara. Dirinya tiba-tiba teringat ucapan Jay tadi.

Jungwon merinding.

“Won, jangan ngelamun!” kaget Jay pada Jungwon. “Udah kamu pesenin?” Dia duduk di samping Jungwon tanpa memberi jarak sama sekali.

Yang ditanya mengangguk. Jungwon menarik bahu Jay dan mendekatkan mulut pada telinganya. “Mbak di samping serem, deh,” bisiknya pelan.

Jay menoleh, melihat ke arah mana mata Jungwon tertuju. Bangsat, umpat Jay dalam hati.

Selain berambut panjang, wajah wanita itu sangat pucat. Jay tidak tahu itu hanya bedak atau orang itu sedang sakit, tapi yang pasti dirinya ingin lari sekarang.

“Kan, udah aku bilang, kan.” Jay langsung mengalihkan pandangnya. Merubah pemandangan yang suram jadi indah. Dia menatap Jungwon lekat.

“Saya bukan setan, Mas.” Terdengar suara dari samping. Jay dan Jungwon melebarkan mata. “Saya habis putus, ga ada semangat makan. Bedak saya berantakan. Saya juga lupa sisiran.”

“Eh, maaf, Mbak udah bikin tersinggung. Tadi saya sama pacar saya lagi bahas horor soalnya, jadi agak waspada. Maaf, ya, Mbak sekali lagi.” Jungwon jadi juru bicara karena dia duduk tepat di samping orang itu. “Semoga cepat terselesaikan patah hatinya, ya, Mbak. Maaf.”

Jay ingin tertawa, tapi mendengar kata pacar saya keluar dari mulut Jungwon, perhatiannya teralihkan. “Pacar saya banget, nih?”

“Biar cepet. Masa aku harus bilang temen saya yang lagi deket sama saya?”

“Kan, bisa tinggal bilang temen,” balas Jay dengan nada mengejek.

“Emang kenapa kalo aku maunya bilang pacar?”

“Gapapa, aku seneng.” Jay tersenyum. Dia mengambil tangan Jungwon di bawah meja, mengelusnya lembut. “Tapi nanti, ya.”

“Iyaaa, maksud aku juga bukan gitu, kok. Kalo kamu belum siap pacaran, aku tunggu.”

Jay menggeleng. “Jangan ditunggu. Nanti malah kerasa lama. Nikmatin aja.”

“Dih, kamu pasti tipe orang yang sering bilang ‘jalanin aja dulu’, ya?”

“Emang salah?”

Jungwon mengangkat bahunya. Menarik tangannya dari genggaman Jay untuk menopang dagu. “Gak salah, kok, tapi aku maunya sama yang think forward. Karena kayak… percuma gak, sih, nikmatin present, tapi sama sekali gak ada persiapan buat hadapin masa depan?”

Jay menghela napas, dia tertawa dalam hati. Jika Jay mengutamakan memikirkan masa depan, mereka berdua tidak akan di sini menghabiskan waktu kala Jay ada jadwal magang hari pertama besok pagi.

Jika Jay think forward, maka Jungwon tidak akan ada di masa sekarang mau pun masa depannya.

“Pusing, ah, disuruh mikirin masa depan mulu,” balas Jay sambil terkekeh, nyatanya dia serius akan perkatannya sendiri. Dia benar-benar muak. Mengapa manusia tidak boleh menikmati waktunya sekarang? Mumpung ada di depan mata, lebih baik selesaikan yang bisa diselesaikan lebih dulu.

Makanan datang dan mereka menghabiskannya dengan lahap. Sebelum kembali ke kos, Jungwon tidak lupa meminta maaf lagi pada wanita yang mereka kira hantu tadi.

Di perjalanan pulang, Jay dan Jungwon tertawa kencang atas tingkah mereka. Untung orang itu tidak memperpanjang masalah, mereka bisa nyenyak tidur tanpa merasa bersalah.

“Jungwonnn,” panggil Jay. Belum sempat menyahut, Jungwon sudah ditimpa oleh badan Jay yang tidak terbalut pakaian sama sekali.

Jantung Jungwon berdegup kencang. Dia ini pemuja tubuh laki-laki. Dia juga pemuja Jay. Jika Jay bertelanjang dada di dekatnya, maka Jungwon jadi pemuja 2 hal sekaligus. Kepalanya pening.

“Kenapa gak pake baju?!”

Jay turun dari tubuh Jungwon kemudian menarik selimut sampai menutup pinggangnya. Dia menghadap samping mengarah pada Jungwon. “Aku emang biasanya tidur begini. Waktu itu karena kamu baru pertama kali nginep, makanya aku pake.”

“S-sekarang pake juga dong.”

Jay terkekeh, tahu betul apa yang membuatnya gagap seperti itu. “Gausah panik kali.”

“Gimana gak panik!!! Badan kamu bagus banget…” Jungwon bersusah payah menahan pandangannya agar tidak turun memindai tubuh itu.

“Mau pegang ga?”

“Hah?”

“Budeg lo. Mau ga?”

“Boleh?”

Jay menarik tangan kanan Jungwon, mengarahkannya pada tubuhnya. Yang Jungwon suka dari badan Jay, dia berotot, tapi badannya tidak terlalu kekar macam iklan di TV.

Tangan Jungwon menyentuh perut bagian bawah Jay. Tumpukan roti sobek berkumpul di sana. Ini bukan pertama kali Jungwon memegang tubuh laki-laki — sebelumnya hanya Sunghoon — tapi rasanya semua memori yang sudah ada seperti dihapus dan Jungwon dapat merasakan sensasi baru yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.

You’re buffed.”

Goal aku masih lebih dari ini tau.” Jay memberhentikan tangan Jungwon, dirasa sudah cukup dia menikmatinya karena Jay sendiri sudah mulai memikirkan hal-hal yang menganggu teman kecilnya.

“Sebenernya ini juga udah bagus, kok.” Tapi Jungwon tidak menangkap sinyal, dia kembali menyeret jemarinya di atas kulit Jay. “Kamu gym di mana?”

“Di — “ Jay mendesis. “ — deket kafe.” Jay menahan napas. “Won, stop.”

“Eh, iya, sorry, sorry.” Jungwon menarik tangannya, merasa malu karena tak mampu menahan diri. “Aku kagumnya berlebihan.”

“Gapapaaa, ga perlu minta maaf. Aku ga marah, kok. Aku cuman takut… lepas.”

“Sebenernya aku sendiri gak masalah, sih, tapi kalo kamu emang gak mau, aku bakal jaga — ”

Ucapan Jungwon terpotong karena Jay sudah lebih dulu menyerbu bibirnya. Fuck, fuck. Jay tidak akan menarik diri. Dia ingin mencium Jungwon sampai mereka sama-sama lelah. Jay menarik tubuh Jungwon mendekat, lalu tangannya dia gunakan untuk menyisir rambut Jungwon.

“Bentar,” potong Jungwon di sela ciuman. Dia mendorong dada Jay pelan. “Mulut aku bau rokok, belum sikat gigi.”

“Kenapa emang? Aku suka, kok.”

“Oh?”

Lagi-lagi Jay membuatnya bingung. Jay suka dilarang dan Jay suka ciuman dengan mulut bau rokok. Dia dan Sunghoon sangat bertolak belakang, Jungwon merasa culture shock.

Ciuman-ciuman kecil Jay berikan di wajah Jungwon di kala tak ada lagi yang keluar dari mulutnya. Kening, pipi, hidung, bibir, semua tempat yang dulu selalu dia ingin jelajahi. Lalu turun ke rahang dan lehernya. Jay seperti sudah terlatih, dia menjilat dan menghisap bagian sana, menghasilkan erangan daripada Jungwon. “Jay…”

“Iyaaa?” Suaranya manja, bukan disengaja, dia hanya membalas Jungwon yang terdengar sangat manis di telinganya.

“Udah jam setengah dua, kamu gak tidur?”

Jay menarik kaus Jungwon sedikit ke atas, meloloskan jemarinya bermain di kulit pinggang Jungwon. Darahnya berdesir. Ternyata seperti ini rasanya mengelus pinggang kecil itu. “Ngantuk, sih, tapi aku gamau sia-siain kesempatan, gimana dong?”

“Kesempatan cium aku?”

Jay mengangguk, dibalas kekehan oleh Jungwon.

“Besok masih bisaaa.”

“Janji, ya?”

Jungwon mengecup bibir Jay sekilas. “Besok pas kamu bangun, kamu pulang magang. Terseraaah kapan aja, aku gak kemana-mana, kok.”

“Kok jadinya aku kayak orang sangean, sih?”

“HAHAHAHA.” Jungwon tertawa puas. “Gak gituuu maksudnya.”

“Berarti besok kamu ga jadi nganterin aku pake mobil baru, ya?”

Jungwon menggeleng. “Tapi jemputnya iya, kok! Aku pulang dulu ambil mobil, nanti jemput kamu, deh. Besok aku anter kamu pake motor, jemput kamu pake mobil. Keren gak, tuh?”

“Biasa aja.”

“Ih, yaudah, kamu cepetan tidur.”

“Pelukkk.” Jungwon memutar mata mendengar permintaan Jay, tapi dia tetap memeluk Jay dari samping.

Posisinya sekarang, Jay bersembunyi di dada Jungwon, sedang satu tangan Jungwon dijadikan bantal oleh Jay, dan satu tangannya lagi digunakan untuk merengkuh tubuh besar itu.

“Besok pagi kalo tangan aku kesemutan, aku marah ke kamu.”

“Pasti kesemutan, sih, yang punya manis soalnya.”

“Bacot. Tidur.”

Jay tertawa kecil. “Goodnight, cantik.”

Untuk malam ini mungkin ada baiknya Jungwon menyimpan resahnya sendiri. Jay butuh tidur. Seperti yang dia bilang, masih ada hari esok.

Mungkin…

--

--

No responses yet